Penelitian Bahaya BPA antara AS Ditemukan atas Kemasan Kaleng, Pakar Desak BPOM Lakukan Uji

Penelitian kemasan kaleng di Universitas Stanford bersama Johns Hopkins University yang dipublikasikan Environmental Research mutakhir-mutakhir ini menunjukkan adanya paparan Bisfenol A (BPA) ala sarapan kaleng. Disebutkan, semakin berlebihan mengonsumsi sarapan kaleng, maka atas semakin berpeluang menjumpai seseorang terkontaminasi BPA.
“Saya dapat makan tiga kaleng peach, orang lain bisa makan satu kaleng sup krim jamur, dan saya mempunyai paparan lebih gendut terkena BPA," kata pemimpin penelitian, Jennifer Hartle melalui Stanford Prevention Research Center, sebagai dilansir Laboratory Equipment, Jumat 25 November 2022. Scroll menurut info selengkapnya.
Seperti diketahui, BPA merupakan senyawa kimia yang diberikan bak pelapis paling dalam kaleng konsumsi. Senyawa ini pernah menjabat senyawa andalan paling dalam pembuatan kemasan, namun sifat kimia yang mirip hormon melangsungkan bahan ini dilarang dari kurang lebih produk sebagai botol bayi.
Penelitian berfokus dengan analisis kadar BPA dalam produk incaran kaleng dan mengukur paparan senyawa itu dengan sekelompok manusia. Hartle dan tim menemukan bahwa incaran kaleng beserta BPA adiluhung berpengaruh dengan kandungan senyawa terkandung dalam urine manusia.
Kandungan BPA bubar pada masing-masing jenis asupan. Namun jumlah jenis asupan kaleng rupanya mempunyai implikasi semok pada kandungan BPA kedalam urine, sebagai jenis sup, pasta, sayuran, bersama buah.
Studi adapun dilakukan oleh Hartle sebelumnya menemukan bahwa anak-anak selaku pihak adapun paling rentan terpapar BPA. Hal ini karena konsumsi kaleng agung digunakan dari menu makan siang di sekolah dan aneka jajanan lainnya.
Merujuk kepada penelitian ini, empu kimia mengenai Departemen Kimia Universitas Indonesia, Agustino Zulys, pun menyarankan agar BPOM segera melakukan uji laboratorium terhadap paparan BPA akan ada dalam santapan kemasan kaleng juga selanjutnya tidak saja terhadap kemasan galon guna ulang akan berbahan Polikarbonat.
Hal itu karena sudah ada penelitian adapun dipublikasikan akibat Environmental Research adapun menunjukkan bahwa mengonsumsi pangan kaleng berhubungan atas luhurnya konsentrasi BPA kedalam urine.
“BPOM perlu meneliti sehabis mana migrasi dari pelapis kaleng anti karat atau BPA yang terdapat dalam kemasan kaleng itu terjadi ke pangannya. Dalam hal ini, BPOM bisa melakukan kerjasama pula beserta perguruan luhur,” ujarnya.
Dia menuturkan bahan sarapan kemasan kaleng yang bersifat asam bisa memungkinkan BPA yang ada paling dalam lapisan kaleng terlarut.
"Makanya, makanan kaleng tidak blewat menjumpai makanan-makanan yang sifatnya asam,” tukasnya.
Pakar teknologi pangan ketimbang IPB, Azis Boing Silevelng, terus mengatakan adanya kecenderungan BPA ekstra dalam kemasan konsumsi kaleng itu bermigrasi ke bahan konsumsinya.
"Tapi, seberapa agung pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena dalam Indonesia belum ada studi menjumpai meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih ronggang,” tuturnya.
Disebutkan, operasi migrasi BPA mengenai kemasan kaleng itu bisa disebabkan jumlah bagian. Di antaranya operasi laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu, selanjutnya pindah panas mengenai produk pangannya. Dia mencontohkan sarden, jamur, nanas yang dikalengkan itu beda-beda pindah panasnya saat disterilisasi, sesantak perlakuan kombinasi suhu selanjutnya durasi pemanasannya juga berlainan-beda.
"Ketika itu variasi-variasi, berarti peluang migrasi BPA-nya lagi bervariasi-variasi. Tapi, semakin asam bahan makanannya atau PH semakin murah, kemungkinan terbuka bisa merusak laminasi epoksinya,” katanya.
Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, juga mengatakan kemasan kaleng yang sudah rusak pebeserta penyok tidak bsebab dikonsumsi masyarakat. Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam atas kaleng kemasannya, setenggat mengkelanjutankan terjadinya migrasi BPA ke kedalam produknya.
"Jika itu terjadi, kemungkinan incaran atau minuman akan ada dalam kemasan itu bisa beracun,” ujarnya.
Dia mengatakan bahaya migrasi BPA yang disebabkan kemasan kaleng penyok bersama tergores ini lebih adi dibanding jika itu terjadi pada galon air yang berbahan Polikarbonat (PC).
"Kalau galon kan sudah diuji penyok atau tidak penyok migrasi BPA-nya itu hina. Apalagi bagian luar maka ekstra dalam galon itu kan terbuat melalui bahan PC. Jadi kalaupun pecah terus tetap keluarnya Polikarbonat terus. Tapi kalau kaleng kemasan, itu bagian ekstra dalamnya epoksi. Jadi, ketika dia penyok, epoksinya akan sobek maka menyebabkan terjadinya migrasi BPA ke ekstra dalam produknya,” tuturnya.
Karenanya, jika BPOM mau melakukan pelabelan lolos batas aman BPA, secaranya, kemasan kaleng ini sepatutnya adapun lebih diutamakan ketimbang galon air berbahan PC. Kata Ahmad Zainal, barang-barang sebagai plastik itu bersifat inert atau tidak bereaksi, baik terdalam asam maupun basa.
"Jadi, plastik itu nggak terlampau masalah bersama situasi asam ataupun basa. Yang bermasalah itu adalah kemasan kaleng karena ada lapisan epoksinya, antara mana jika terkelupas bisa melontarkan produknya beracun,” tukasnya.
Dr. Melyarna Putri, M.Gizi dari KlikDokter doang menyarankan tidak bsebab sering-sering mengonsumsi konsumsi kaleng dari dalam jumlah nan terdahulu deras.
"Meski kandungan nutrisinya sepadan beserta santapan bugar, tapi santapan kaleng ditambahkan bahan kimia semasa prosedur pengemasan. Bahan kimia yang digunakan jauh didalam pengemasan luput satunya adalah BPA yang digunakan bagi menghalau karat daripada kaleng. Bahan kimia ini tidak baik bagi kesehatan kalau dikonsumsi jauh didalam jumlah yang betul-betul berlipat-lipat,” ujarnya.
Menurutnya, jika mengonsumsi betul-betul berlipat-lipat pangan kaleng dapat meningkatkan risiko terkena diabetest karena paparan BPA mengenai kemasan kalengnya.
"Terdahulu berlimpah terpapar BPA ekstra dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan dekat sistem metabolisme tubuh dan mengurangi sensitivitas insulin, setenggat kadar gula darah hendak terus naik,” katanya.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, C.EIA bahkan menegaskan kontaminasi BPA secara signifikan lebih jangkung di kemasan kaleng daripada pangan non kaleng seperti pangan kontemporer, pangan beku, lagi kemasan plastik. Jadi, baginya, jika mau melabeli ‘kapasitas mengandung BPA’ itu lebih cocok kepada kemasan kaleng ketimbang kemasan air.
“Tapi, kalaupun berkeinginan mau melabeli kemasan pangan, harusnya semua kemasan itu harus dilabeli lewat menyatakan ini bebas bahan berbahaya. Jangan ada diskriminatif kalau mau mengamankan kemasan pangan. Kalau mau dilabeli, ya semua harus dilabeli,” ujarnya.